Download this Blogger Template by Clicking Here!

Ad 468 X 60

Rabu, 11 November 2015

Widgets

ETIKA PENYIARAN DAN PROBLEMATIKANYA

Fenomena etika penyiaran di Indonesia mengalami problematika yang semakin rumit. Seiring semakin besarnya industri penyiaran maka semakin besar pula kepentingannya. Para pegiat industri penyiaran mungkin sudah pernah menelaah tentang kodek etik penyiaran. Namun di sisi lain, mereka kerap kali mengabaikan kode etik tersebut demi kepentingan golongan, bisnis, dan lainnya. Hal ini mengakibatkan persoalan dilematis antara idealisme etika penyiaran dengan kepentingan tertentu.
“Sebuah masyarkat tanpa etika adalah masyarakat yang menjelang kehancuran,” ucap filosof S. Jack Odell. Menurut Odell, “ konsep dan teori dasar etika memberikan kerangka yang dibutuhkan untuk melaksanakan kode etik atau moral setiap orang”. Odel yakin bahwa prinsip-prinsip etika adalah prasyarat wajib bagi keberadaan sebuah komunitas social. Tanpa prinsip-prinsip etika mustahil manusia bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan.[1]

Berdasarkan UU Penyiaran, maka penyiaran di Indonesia harus diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hokum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Penyiaran diselenggarakan dengan bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industry penyiaran Indonesia.[2]
Dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran sangat jelas menunjukkan nuansa demokratis dibandingkan dengan sebelumnya, UU No. 24/1997. Hal ini dapat dilihat dari proses terbentuknya yang memakan waktu cukup lama karena penuh dengan perdebatan dengan argumentasi masing-masing, serta tarik-menarik kepentingan.[3]
KPI merupakan wujud dari peran serta masyarakat yang berfungsi untuk mewadahi aspirasiserta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Sistempenyiaran Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harussebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah prinsip Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).
Wewenang KPI adalah: (1) Menetapkan standar programsiaran;(2). Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkanolehasosiasiataumasyarakat penyiaran kepada KPI);(3) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedomanperilaku penyiaran serta standar programsiaran;(4)Memberikan sanksiterhadap pelanggaran peraturandan pedoman perilaku penyiaran serta standar programsiaran;(5) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. (http://www.kpi.go.id/?lang=&etats=detailmenu& nid=23).
Tayangan bermasalah yang melanggar P3-SPS yang telah ditetapkan, merupakan perhatian KPI. Berbagai teguran, klarifikasi atau bahkan penghentian siaran, diberikan kepada stasiun televisi yang dinilai melanggar. Untuk memberikan kekuatan lebih pada teguran yang dilakukan KPI, pada tanggal 5 Oktober 2006, KPI menjalin kerjasama dengan Polrimelalui Memorandum of Understanding. Kerjasama tersebut memungkinkan pelanggaran-pelanggaran penyiaran bisa ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian (Newsletter KPI, Oktober-Desember 2006).

Media Penyiaran Jadi Alat Politik Golongan Tertentu
Ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2014 yang lalu, Komisi Penyiaran Indonesia, KPI, menyatakan, sejumlah stasiun televisi milik petinggi partai politik cenderung memihak kepada kubu calon presiden Jokowi atau Prabowo, sehingga dapat merugikan masyarakat. Hal ini didasarkan dari pemberitaan dan penayangan iklan yang ditampilkan beberapa televisi selama menjelang pemilu presiden saat ini.
Temuan Komisi Penyiaran Indonesia, KPI menyebutkan, sejumlah media televisi, khususnya televisi berita, cenderung memihak kepada calon Presiden dari kubu Jokowi atau Prabowo, baik sisi pemberitaan atau iklannya. “Berdasarkan pemantauan KPI, dia menilai, menjelang pilpres, beberapa televisi menunjukkan ketidaknetralan," kata Komisioner KPI bidang pengawasan, Agatha Lily, kepada wartawan BBC Indonesia.[4]
Apalagi pasca insiden menghebohkan yang dipertontonkan oleh stasiun televisi berita TV One beberapa waktu lalu. Sangat jelas sekali televisi tersebut memihak kepada kelompok atau partai tertentu. Stasiun TV ini mengalami insiden "keceplosan" pada tayangan langsung Breaking News, Rabu malam (2/10). Dalam video berdurasi 14 menit yang telah beredar di media sosial itu, dialog reporter tentang larangan penyebutan Partai Golkar ikut terekam dan terdengar jelas. "Golkar-nya gak usah disebut ya," demikian bunyi pada menit 8:32 dalam rekaman tersebut.
Peristiwa ini bermula ketika acara Breaking News TV One menayangkan pemberitaan tentang operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek Widyacandra Jakarta Selatan. Dalam operasi ini KPK berhasil menangkap dua orang, pertama berinisial AM dari lembaga peradilan, sementara yang kedua berinisal CN, yakni salah seorang anggota DPR. Dari keduanya tim KPK berhasil mengamankan uang sejumlah 2-3 milyar rupiah.
Namun sepertinya para penonton sudah menebak bahwa anggota DPR berinisial CN tersebut berasal dari Partai Golkar. Hal ini bisa diketahui karena seorang reporter TV One bernama Fransisca mengalami insiden keceplosan dengan berkata, "Golkar-nya gak usah disebut ya". Insiden itu terekam ketika sang reporter melakukan komunikasi dengan pihak TV One yang berada di studio berita.
Tidak lama setelah itu, reporter tersebut melaporkan hasil liputannya dengan tanpa menyebutkan embel-embel Partai Golkar. Namun sangat disayangkan, settingan berita semacam itu sudah terkuak ke tengah publik dengan adanya insiden keceplosan itu. Masyarakat pun tentu bisa menilai, apakah stasiun TV berita tersebut masih bisa dipercaya atau tidak.  0064
Aspek netralitas atau obyektifitas rupanya suda tidak diindahkan lagi oleh media. Para politikus, terutama mereka yang menjadi bos media melakukan pelanggaran kode etik penyiaran dengan mengeksploitasi media menjadi corong politiknya. Mereka telah mencuri start kampanye demi melakukan pencitraan di tengah masyarakat.
Sejumlah masalah di atas terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama. Belum ada penyelesaian yang ampuh baik dari media terkait atau pun KPI sebagai pihak berwenang dalam hal penyiaran. Kasus di atas juga berpotensi akan berulang pada Pemilu-Pemilu selanjutnya. Padahal di dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 36 ayat 4,5a sudah ditegaskan bahwa:
-   Ayat (4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan golongan tertentu.
-  Ayat (5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;[5]

Dalam pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3danSPS) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 22 ayat 5 diterangkan bahwa: (5) Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik untuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.
Menyaksikan fenomena itu, sungguh sangat disayangkan media-media di Indonesia sudah kehilangan independensi. Mereka dipaksa untuk menjadi “sapi perah” bagai syahwat politik pemiliknya. Jika sudah demikian, kepercayaan publik terhadap media akan hilang. Karena mereka tidak lagi memenuhi hak dan aspirasi publik, namun sudah berubah menjadi sarana aspirasi politik figur atau partai politik tertentu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta agar partai politik taat aturan dan menahan diri tidak berkampanye terlebih dulu melalui media massa.  Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan dalam Koran Sindo, kampanye lewat media cetak dan elektronik baru diperbolehkan 21 hari menjelang Pemilu 2014. “Parpol belum bisa beriklan dengan muatan kampanye di media cetak dan elektronik sebelum masa kampanye 21 hari sebelum pemilu. Kalau ucapan selamat yang sifatnya tidak mengajak, tidak ada pemuatan visi misi partai, tidak ada problem,” kata Ferry.
Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara itu, dalam Pasal 6 UU Pers nasional di antaranya pers melaksanakan peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers juga harus menghormati kebinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar melakukan pengawasan.
Namun, ironis media saat ini tidak lagi menaati UU tersebut. Media sudah menyimpang dari fungsi sesungguhnya. Bahkan perselingkuhan antara media dan politik sudah terjadi secara terang-terangan. Para pengawas pemilu dan pengawas media pun tidak bisa berbuat banyak.
Sementara para politikus yang memang tidak memiliki media harus gigit jari dengan fenomena itu. Kalaupun mau berkampanye, dia harus merogoh koceknya dalam-dalam. Mereka harus mengeluarkan dana puluhan atau ratusan juta hanya untuk beberapa kali tayang. Parahnya lagi, mereka juga kerap menjadi bulan-bulanan tatkala ada kasus yang menjerat para petingginya. Sementara politikus-bos media, mereka bisa tayang secara gratis dengan frekuensi waktu sesukanya.
Melihat kenyataan seperti ini, sudah seharusnya KPI bersikap dan memberi sanksi tegas agar kejadian seperti ini tidak terulang. Dengan adanya sanksi tegas, boleh jadi media partisan itu akan berpikir dua kali untuk melakukan pelanggaran serupa. Karena hal ini jelas sangat merugikan kepentingan khalayak. Masyarakat berhak mendapat manfaat dunia penyiaran, bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan golongan tertentu.

Tayangan Kekerasan dan Sadisme dalam layar kaca
Untuk menarik minat penonton, media penyiaran kerap kali mendramatisir suatu berita, film, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit yang menampilkan unsur-unsur sadisme secara vulgar. Nitibaskara menyebutkan televisi berpotensi mempengaruhi 75 % pemirsanya. (Psyche, 1994). Saat ini televisi mulai banyak menyajikan acara yang menampilkan kekerasan. Penelitian mengenai aksi kekerasan yang muncul di televisi pernah dilakukan oleh surat kabar Kompas pada bulan Sepetember 1993. Dalam satu hari, empat stasiun televisi yaitu TVRI, RCTI, TPI dan SCTV menayangkan adegan kekerasan sebanyak 127 kali dari sebelas film yang disajikan (Budyatna, 1994)
Sebuah survei yang pernah dilakukan salah satu harian di negara bagian Amerika Serikat menyebutkan, empat dari lima orang Amerika menganggap kekerasan di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya kalau anak-anak sering menonton tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan. Kekerasan di televisi membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Era Muslim, 27/07/2004).
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mempunyai tugas dan kewajiban untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. Berdasarkan pemantauan KPI, Program Siaran “Bioskop Trans TV Spesial” kerap menayangkan film dengan muatan kekerasan yang intensif dan eksplisit seperti pada tayangan “Shooter”, “Street Fighter”, dan “The Karate Kid”. Adapun program siaran dengan muatan kekerasan wajib mematuhi ketentuan jam tayang dewasa yakni disiarkan di antara pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
Kekerasan dan sadisme banyak ditemukan pada program televisi, mulai darifilm layar lebar (movie), reality show, sinetron, talkshow, berita, bahkan program anak-anak. Komisi Penyiaran Indonesia sebenarnya telah mengatursecara tegas masalah pembatasan dan pelarang-an kekerasandan sadismeditelevisimelaluiPedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar ProgramSiaran (SPS). Dalam pasal 25 SPS diatur masalah PembatasanProgramKekerasan. SedangkanProgramSiaran Kekerasan yang dilarang, diatur dalam pasal 26.
Program Siaran “Bioskop Trans TV Spesial” sebelumnya telah mendapatkan Sanksi Administratif TeguranTertulis Nomor 1049/K/KPI/10/15 tertanggal 7 Oktober 2015 terkait pelanggaran tentang perlindungan remaja, pelarangan adegan kekerasan, dan penggolongan program siaran. Perlu diketahui bahwa tayangan dengan muatan adegan kekerasan secara detail dan eksplisit dapat berimplikasi pada sanksi administratif penghentian sementara sesuai dengan Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 Pasal 80. (KPI.go.id)
Selain bersifat fisik, kekerasan juga ditampilkan dalam bentuk kata-kata kasar dan makian. Secara jelas, KPI telah melarang kekerasan seperti ini, pada Standar Program Siaran (SPS) pasal27 ayat (1)sampaidengan (6). Berbagai bentuk kata-kata kasar dan makian terlarang ditayangkan di televisi,seperti yang diatursecara detail pada pasaldan ayat-ayat tersebut. Sayangnya, aturan tersebut banyak dilanggarstasiun televisi. Kekerasan dalambentuk kekerasan verbal, banyak ditemukan pada berbagai program televisi seperti talkshow, siaran berita langsung (live) dan sinetron. Talkshow yang seharusnya menjadi program perbincangan yang menarik untuk ditonton ternyata seringkali menampilkan kata-kata kasar daripara nara-sumber yang ditampilkan. Pada program talkshow “Curhat Bareng Anjasmara” yang disiarkanTPI, misalnya, para narasumbersecara penuh emosi menampilkan kata-katakasar dan penuh makian, yang kemudian berlanjut dengankekerasan fisik. Demikianjuga dengan siaran berita langsung (live) yang menampilkan debat anggota parlemen, Gayus Lumbuun dan Ruhut Sitompul, dalam kasus Bank Century, juga menampilkan kekerasan verbal berupa makian dan kata-kata kasar.
Dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 tentang isi siaran, pada pasal 36 ayat 3 menyatakan: Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Sedangkan Ayat 5: Isi siaran dilarang: Pertama, bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Kedua, Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau Ketiga, Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Pada pasal 48 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran ayat 4 point D, juga menyebutkan adanya pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme. (Saeful Rokhman)





[1] Dra. Lukiati Komala, Ilmu Komunikasi; Perspektif, Proses, dan Konteks, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009, hal. 228
[2] Dr. Judhariksawan, SH, MH, Hukum Penyiaran, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010, hal 91.
[3] Hidjayanto Djamal, Andi Fachruddin, Dasar-dasar Penyiaran, Jakarta: Kencana, 2013, hal. 248.
[4] BBC Indonesia, 27 Mei 2014.
[5] Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: