Rabu, 11 November 2015
ETIKA PENYIARAN DAN PROBLEMATIKANYA
Fenomena etika penyiaran
di Indonesia mengalami problematika yang semakin rumit. Seiring semakin
besarnya industri penyiaran maka semakin besar pula kepentingannya. Para pegiat
industri penyiaran mungkin sudah pernah menelaah tentang kodek etik penyiaran.
Namun di sisi lain, mereka kerap kali mengabaikan kode etik tersebut demi
kepentingan golongan, bisnis, dan lainnya. Hal ini mengakibatkan persoalan
dilematis antara idealisme etika penyiaran dengan kepentingan tertentu.
“Sebuah masyarkat tanpa
etika adalah masyarakat yang menjelang kehancuran,” ucap filosof S. Jack Odell.
Menurut Odell, “ konsep dan teori dasar etika memberikan kerangka yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kode etik atau moral setiap orang”. Odel yakin
bahwa prinsip-prinsip etika adalah prasyarat wajib bagi keberadaan sebuah
komunitas social. Tanpa prinsip-prinsip etika mustahil manusia bisa hidup
harmonis dan tanpa ketakutan.[1]
Berdasarkan UU Penyiaran, maka penyiaran di Indonesia harus diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hokum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Penyiaran diselenggarakan dengan bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industry penyiaran Indonesia.[2]
Dalam UU No. 32 tahun
2002 tentang Penyiaran sangat jelas menunjukkan nuansa demokratis dibandingkan
dengan sebelumnya, UU No. 24/1997. Hal ini dapat dilihat dari proses
terbentuknya yang memakan waktu cukup lama karena penuh dengan perdebatan
dengan argumentasi masing-masing, serta tarik-menarik kepentingan.[3]
KPI merupakan wujud
dari peran serta masyarakat yang berfungsi untuk mewadahi aspirasiserta
mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Sistempenyiaran Indonesia
menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena
frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya
harussebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Dasar dari fungsi pelayanan
informasi yang sehat adalah prinsip Diversity of Content (prinsip keberagaman
isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).
Wewenang KPI adalah:
(1) Menetapkan standar programsiaran;(2). Menyusun peraturan dan menetapkan
pedoman perilaku penyiaran (diusulkanolehasosiasiataumasyarakat penyiaran
kepada KPI);(3) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedomanperilaku penyiaran
serta standar programsiaran;(4)Memberikan sanksiterhadap pelanggaran
peraturandan pedoman perilaku penyiaran serta standar programsiaran;(5)
Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran,
dan masyarakat. (http://www.kpi.go.id/?lang=&etats=detailmenu& nid=23).
Tayangan bermasalah
yang melanggar P3-SPS yang telah ditetapkan, merupakan perhatian KPI. Berbagai
teguran, klarifikasi atau bahkan penghentian siaran, diberikan kepada stasiun
televisi yang dinilai melanggar. Untuk memberikan kekuatan lebih pada teguran
yang dilakukan KPI, pada tanggal 5 Oktober 2006, KPI menjalin kerjasama dengan
Polrimelalui Memorandum of Understanding. Kerjasama tersebut memungkinkan
pelanggaran-pelanggaran penyiaran bisa ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian
(Newsletter KPI, Oktober-Desember 2006).
Media Penyiaran Jadi Alat Politik
Golongan Tertentu
Ketika Pemilihan
Presiden (Pilpres) pada tahun 2014 yang lalu, Komisi Penyiaran Indonesia, KPI,
menyatakan, sejumlah stasiun televisi milik petinggi partai politik cenderung
memihak kepada kubu calon presiden Jokowi atau Prabowo, sehingga dapat
merugikan masyarakat. Hal ini didasarkan dari pemberitaan dan penayangan iklan
yang ditampilkan beberapa televisi selama menjelang pemilu presiden saat ini.
Temuan Komisi Penyiaran
Indonesia, KPI menyebutkan, sejumlah media televisi, khususnya televisi berita,
cenderung memihak kepada calon Presiden dari kubu Jokowi atau Prabowo, baik
sisi pemberitaan atau iklannya. “Berdasarkan pemantauan KPI, dia menilai,
menjelang pilpres, beberapa televisi menunjukkan ketidaknetralan," kata
Komisioner KPI bidang pengawasan, Agatha Lily, kepada wartawan BBC Indonesia.[4]
Apalagi pasca insiden
menghebohkan yang dipertontonkan oleh stasiun televisi berita TV One beberapa
waktu lalu. Sangat jelas sekali televisi tersebut memihak kepada kelompok atau
partai tertentu. Stasiun TV ini mengalami insiden "keceplosan" pada
tayangan langsung Breaking News, Rabu malam (2/10). Dalam video berdurasi 14
menit yang telah beredar di media sosial itu, dialog reporter tentang larangan
penyebutan Partai Golkar ikut terekam dan terdengar jelas. "Golkar-nya gak
usah disebut ya," demikian bunyi pada menit 8:32 dalam rekaman tersebut.
Peristiwa ini bermula
ketika acara Breaking News TV One menayangkan pemberitaan tentang operasi
tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek
Widyacandra Jakarta Selatan. Dalam operasi ini KPK berhasil menangkap dua
orang, pertama berinisial AM dari lembaga peradilan, sementara yang kedua
berinisal CN, yakni salah seorang anggota DPR. Dari keduanya tim KPK berhasil
mengamankan uang sejumlah 2-3 milyar rupiah.
Namun sepertinya para
penonton sudah menebak bahwa anggota DPR berinisial CN tersebut berasal dari
Partai Golkar. Hal ini bisa diketahui karena seorang reporter TV One bernama
Fransisca mengalami insiden keceplosan dengan berkata, "Golkar-nya gak
usah disebut ya". Insiden itu terekam ketika sang reporter melakukan
komunikasi dengan pihak TV One yang berada di studio berita.
Tidak lama setelah itu,
reporter tersebut melaporkan hasil liputannya dengan tanpa menyebutkan
embel-embel Partai Golkar. Namun sangat disayangkan, settingan berita
semacam itu sudah terkuak ke tengah publik dengan adanya insiden keceplosan
itu. Masyarakat pun tentu bisa menilai, apakah stasiun TV berita tersebut masih
bisa dipercaya atau tidak. 0064
Aspek netralitas atau
obyektifitas rupanya suda tidak diindahkan lagi oleh media. Para politikus,
terutama mereka yang menjadi bos media melakukan pelanggaran kode etik
penyiaran dengan mengeksploitasi media menjadi corong politiknya. Mereka telah
mencuri start kampanye demi melakukan pencitraan di tengah masyarakat.
Sejumlah masalah di
atas terjadi berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama. Belum ada penyelesaian
yang ampuh baik dari media terkait atau pun KPI sebagai pihak berwenang dalam
hal penyiaran. Kasus di atas juga berpotensi akan berulang pada Pemilu-Pemilu
selanjutnya. Padahal di dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal
36 ayat 4,5a sudah ditegaskan bahwa:
- Ayat (4) Isi siaran wajib dijaga
netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan
golongan tertentu.
- Ayat (5) Isi siaran dilarang :
a.
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;[5]
Dalam pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3danSPS) Komisi Penyiaran Indonesia
Tahun 2012 Pasal 22 ayat 5 diterangkan bahwa: (5) Lembaga penyiaran wajib
menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik untuk
tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal maupun internal termasuk pemodal atau
pemilik lembaga penyiaran.
Menyaksikan fenomena
itu, sungguh sangat disayangkan media-media di Indonesia sudah kehilangan
independensi. Mereka dipaksa untuk menjadi “sapi perah” bagai syahwat politik
pemiliknya. Jika sudah demikian, kepercayaan publik terhadap media akan hilang.
Karena mereka tidak lagi memenuhi hak dan aspirasi publik, namun sudah berubah
menjadi sarana aspirasi politik figur atau partai politik tertentu.
Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta agar partai politik taat
aturan dan menahan diri tidak berkampanye terlebih dulu melalui media
massa. Komisioner KPU Ferry Kurnia
Rizkiyansyah mengatakan dalam Koran Sindo, kampanye lewat media cetak dan
elektronik baru diperbolehkan 21 hari menjelang Pemilu 2014. “Parpol belum bisa
beriklan dengan muatan kampanye di media cetak dan elektronik sebelum masa
kampanye 21 hari sebelum pemilu. Kalau ucapan selamat yang sifatnya tidak
mengajak, tidak ada pemuatan visi misi partai, tidak ada problem,” kata Ferry.
Berdasarkan ketentuan
pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers adalah sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Sementara itu, dalam Pasal 6
UU Pers nasional di antaranya pers melaksanakan peranan untuk memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai nilai dasar demokrasi dan
mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain itu pers
juga harus menghormati kebinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat dan benar melakukan pengawasan.
Namun, ironis media
saat ini tidak lagi menaati UU tersebut. Media sudah menyimpang dari fungsi
sesungguhnya. Bahkan perselingkuhan antara media dan politik sudah terjadi
secara terang-terangan. Para pengawas pemilu dan pengawas media pun tidak bisa
berbuat banyak.
Sementara para
politikus yang memang tidak memiliki media harus gigit jari dengan fenomena
itu. Kalaupun mau berkampanye, dia harus merogoh koceknya dalam-dalam. Mereka
harus mengeluarkan dana puluhan atau ratusan juta hanya untuk beberapa kali
tayang. Parahnya lagi, mereka juga kerap menjadi bulan-bulanan tatkala ada
kasus yang menjerat para petingginya. Sementara politikus-bos media, mereka
bisa tayang secara gratis dengan frekuensi waktu sesukanya.
Melihat kenyataan
seperti ini, sudah seharusnya KPI bersikap dan memberi sanksi tegas agar
kejadian seperti ini tidak terulang. Dengan adanya sanksi tegas, boleh jadi
media partisan itu akan berpikir dua kali untuk melakukan pelanggaran serupa.
Karena hal ini jelas sangat merugikan kepentingan khalayak. Masyarakat berhak
mendapat manfaat dunia penyiaran, bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan
golongan tertentu.
Tayangan Kekerasan dan Sadisme dalam
layar kaca
Untuk menarik minat
penonton, media penyiaran kerap kali mendramatisir suatu berita, film, dan
lainnya. Bahkan tidak sedikit yang menampilkan unsur-unsur sadisme secara
vulgar. Nitibaskara menyebutkan
televisi berpotensi mempengaruhi 75 % pemirsanya. (Psyche, 1994). Saat ini
televisi mulai banyak menyajikan acara yang menampilkan kekerasan. Penelitian
mengenai aksi kekerasan yang muncul di televisi pernah dilakukan oleh surat
kabar Kompas pada bulan Sepetember 1993. Dalam satu hari, empat stasiun
televisi yaitu TVRI, RCTI, TPI dan SCTV menayangkan adegan kekerasan sebanyak
127 kali dari sebelas film yang disajikan (Budyatna, 1994)
Sebuah survei yang pernah dilakukan salah satu harian di negara bagian
Amerika Serikat menyebutkan, empat dari lima orang Amerika menganggap kekerasan
di televisi mirip dengan dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya kalau
anak-anak sering menonton tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan.
Kekerasan di televisi membuat anak menganggap kekerasan adalah jalan untuk
menyelesaikan masalah (Era Muslim, 27/07/2004).
Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) berdasarkan Undang-Undang
No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) mempunyai tugas dan kewajiban
untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan masyarakat terhadap
penyelenggaraan penyiaran. Berdasarkan pemantauan KPI, Program Siaran “Bioskop
Trans TV Spesial” kerap menayangkan film dengan muatan kekerasan yang intensif
dan eksplisit seperti pada tayangan “Shooter”, “Street Fighter”, dan “The
Karate Kid”. Adapun program siaran dengan muatan kekerasan wajib mematuhi
ketentuan jam tayang dewasa yakni disiarkan di antara pukul 22.00-03.00 waktu
setempat.
Kekerasan dan sadisme
banyak ditemukan pada program televisi, mulai darifilm layar lebar (movie),
reality show, sinetron, talkshow, berita, bahkan program anak-anak. Komisi
Penyiaran Indonesia sebenarnya telah mengatursecara tegas masalah pembatasan
dan pelarang-an kekerasandan sadismeditelevisimelaluiPedoman Perilaku Penyiaran
(P3) dan Standar ProgramSiaran (SPS). Dalam pasal 25 SPS diatur masalah PembatasanProgramKekerasan.
SedangkanProgramSiaran Kekerasan yang dilarang, diatur dalam pasal 26.
Program Siaran “Bioskop Trans TV Spesial” sebelumnya telah mendapatkan
Sanksi Administratif TeguranTertulis Nomor 1049/K/KPI/10/15 tertanggal 7
Oktober 2015 terkait pelanggaran tentang perlindungan remaja, pelarangan adegan
kekerasan, dan penggolongan program siaran. Perlu diketahui bahwa tayangan
dengan muatan adegan kekerasan secara detail dan eksplisit dapat berimplikasi
pada sanksi administratif penghentian sementara sesuai dengan Standar Program
Siaran KPI Tahun 2012 Pasal 80. (KPI.go.id)
Selain bersifat fisik,
kekerasan juga ditampilkan dalam bentuk kata-kata kasar dan makian. Secara
jelas, KPI telah melarang kekerasan seperti ini, pada Standar Program Siaran
(SPS) pasal27 ayat (1)sampaidengan (6). Berbagai bentuk kata-kata kasar dan
makian terlarang ditayangkan di televisi,seperti yang diatursecara detail pada
pasaldan ayat-ayat tersebut. Sayangnya, aturan tersebut banyak dilanggarstasiun
televisi. Kekerasan dalambentuk kekerasan verbal, banyak ditemukan pada
berbagai program televisi seperti talkshow, siaran berita langsung (live) dan
sinetron. Talkshow yang seharusnya menjadi program perbincangan yang menarik
untuk ditonton ternyata seringkali menampilkan kata-kata kasar daripara
nara-sumber yang ditampilkan. Pada program talkshow “Curhat Bareng Anjasmara”
yang disiarkanTPI, misalnya, para narasumbersecara penuh emosi menampilkan kata-katakasar
dan penuh makian, yang kemudian berlanjut dengankekerasan fisik. Demikianjuga
dengan siaran berita langsung (live) yang menampilkan debat anggota parlemen,
Gayus Lumbuun dan Ruhut Sitompul, dalam kasus Bank Century, juga menampilkan
kekerasan verbal berupa makian dan kata-kata kasar.
Dalam Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 tentang isi siaran,
pada pasal 36 ayat 3 menyatakan: Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan
pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan
menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan
dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran. Sedangkan
Ayat 5: Isi siaran dilarang: Pertama, bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan
dan/atau bohong. Kedua, Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian,
penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau Ketiga, Mempertentangkan
suku, agama, ras, dan antar golongan. Pada pasal 48 tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran ayat 4 point D, juga menyebutkan adanya pembatasan adegan seks,
kekerasan dan sadisme. (Saeful Rokhman)
[1]
Dra. Lukiati Komala, Ilmu Komunikasi; Perspektif, Proses, dan Konteks, Bandung:
Widya Padjadjaran, 2009, hal. 228
[2]
Dr. Judhariksawan, SH, MH, Hukum Penyiaran, Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2010, hal 91.
[3]
Hidjayanto Djamal, Andi Fachruddin, Dasar-dasar Penyiaran, Jakarta: Kencana,
2013, hal. 248.
[4]
BBC Indonesia, 27 Mei 2014.
[5]
Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: